Harta yang paling berharga adalah keluarga, begitulah kata yang sering kita dengar dan selalu menjadi slogan kebanggan setiap manusia dalam mengekspresikan rasa sayang terhadap keluarganya. Tapi, sudakah kita mengucapkan syukur atas anugerah Tuhan yang telah memberikan kita sebuah keutuhan keluarga dengan berbagai kebahagian di dalamnya? Atau, sadarkah kita bahwa support sistem terbaik dalam hidup adalah keluarga? Jangan-jangan kita sudah lama lupa dengan esensi keluarga!!!
Tulisan ini sebagai bentuk lain dari rasa syukur ku atas karunia Tuhan yang Maha baik padaku yang sering kali terabaikan oleh angkuh ku sebagai manusia dewasa. Aku yang mengira bisa hidup mandiri dengan segala kelebihanku, aku yang sering mengaku kuat menanggung beban karena langkahku begitu gesit, tapi pada akhirnya, saat ku jatuh dan hancur oleh kehidupan ia (keluarga) selalu menjadi rumah yang tak pernah menolak kehadiranku dalam bentuk paling terhina sekalipun.
Di titik terendah, aku pernah kehilangan semua pengharapan terhadap kehidupan. Semua yang aku punya menjauh bahkan menghilang satu persatu, tak ada yang tersisa sedikitpun. Keputus-asaan mengisyaratkan bahwa hidup telah lama usai, bahkan hampir-hapir aku hilang kepercayaan bukan hanya terhadap diriku sendiri tapi lebih dari itu, Iman terhadap Tuhan seolah terampas oleh keadaan. Bagiku, neraka yang sebenarnya sedang membelenggu membuatku tak tahu lagi kemana harus mencari jalan keluar dari semua persoalan yang datang. Manusia memang tak lepas dari permasalahan yang akan selalu menjadi warna dalam menjalani kehidupan, tapi untuk ku, sangat menyedihkan tanpa manusia lain menguatkan dan bersedia menjadi teman melalui masa-masa sulit yang sedang kurasakan.
Keluarga, iya dalam situasi yang sulit alter ego ku berbisik "Hey, aku. . . Sudah terlalu lama kau melanglang buana mencari jalan keluar untuk setiap permaslahan yang sedang kau hadapi, lupa jika yang kau butuhkan hanyalah rumah yang bernama keluarga!!!". Tersentak dengan bisikan itu, aku tersungkur bersama ratap tangis meluapkan rasa sesal, kemudian menggerutu betapa egoisnya aku yang selalu merasa bisa mencari jalan tanpa menyadari bahwa support keluarga adalah senjata utama untuk melawan segala tragedi yang menerpa.
Ego yang tertakluk membuatku sadar bahwa, tak ada manusia yang benar-benar peduli terhadap ku kecuali keluarga. Sampai pada suatu hari, ia yang sering ku sebut Bicak membuatku semakin sadar tentang arti kehidupan yang sebenarnya. Ah, ingin sekali aku menulis tentangnya di secarik kertas kemudian akan ku jadikan bingkai indah dalam hati dan hidupku. Suatu hari, entah kapan dan teruntuk Bicak nanti kita cerita tentang hari ini. Hari di mana, keajaiban datang menghiburku yang hampir jatuh, menyerah pada keadaan.
Tapi begitulah hidup, di sisa kesedihan aku menertawakan diriku sendiri atas apa yang telah ku lalui. Sekarang aku benar-benar paham makna dari kata "Hidup yang tak di maknai tak layak untuk di hidupi".
Hingga pada akhirnya, keadaan pula yang menyadarkanku bahwa, berharap pada makhluk bukanlah hal yang baik, berharap pada makhluk hanya akan membuat rasa kecewa semakin menjadi. Sampai di titik paling menyedihkan, orang-orang paling terdekatlah (Kelauarga) yang selalu meyakinkanku bahwa akan selalu ada secercah harapan yang datang bak keajaiban dan membuatku sadar tentang semua hal yang sedang terjadi. Aku lupa, bahwa tak apa semua makhluk menjauh dan tak peduli terhadap apa yang ku rasakan, sebab masih ada Tuhan yang selalu menanti dalam kecemburuan agar aku kembali bertaut pada pinta-pinta yang tak lagi ku langitkan. Benarlah bahwa, Tuhan akan ada selaras dengan prasangka hambanya.
Komentar
Posting Komentar