Berawal dari rasa penasaran saya pada film dokumenter yang beberapa waktu lalu sempat di tayangkan di bioskop Cinemaxx Lippo Lubuk Linggau, film itu bertajuk “Silampari, setelah 2001” dan itu membuat saya kembali mengingat sepenggal cerita tentang asal mula Silampari yang sejak kecil sampai saat ini masih menjadi pertanyaan dalam benak saya. Sayangnya, saya melewatkan momen yang sebenarnya sangat ingin sekali saya hadiri dan saya hanya bisa berharap semoga saja ada nobar setelah fim 'Silampari, setelah 2001' selanjutnya di forum-forum diskusi yang diadakan oleh komunitas yang ada di Lubuk Linggau, dan benar saja, beberapa minggu setelah tayang di bioskop film dokumenter 'Silampari, setelah 2001' kembali hadir tapi, dalam bentuk berbeda oleh komunitas Memandang Film yang berlangsung di Bennyinstitute dan di hadiri oleh sang produsernya langsung yaitu Benny Arnas.
Kali ini saya tak boleh melewatkan kesempatan langkah itu, melalui beberapa teman akhirnya saya bisa hadir dalam diskusi tersebut. Tema yang diangkat adalah Kekuatan Fiksi dalam Nonfiksi, setelah nobar kemudian forum diskusi dimulai yang di awali dengan penyampaian pendapat dari masing-masing peserta yang hadir, dan saya beruntung dapat giliran paling akhir dimintai tanggapan dari film tersebut, hehe. Sebagai orang yang paling akhir dimintai pendapat sebenarnya saya hanya perlu menyimpulkan semua pendapat teman-teman yang hadir pada saat itu tapi, rasa penasaran saya justru bukan pada alur cerita yang disajikan dalam film tersebut melainkan narasumber yang di wawancarai. Dari banyak narasumber tersebut saya tidak melihat ada satupun yang mewakili dari Muratara. Bagi saya, Silampari adalah kata yang mampu meredam isu identitas antara ketiga wilayah diantaranya Musirawas Lubuk Linggau dan yang terakhir Muratara, mungkin saya sebagai wakil pemuda muratara yang hadir saat itu agak sedikit merasa ada yang aneh mengapa tidak satupun narasumber yang berasal dari Muratara sehingga rasa sensi dan identitas saya muncul begitu saja, yang kemudian muncul sebuah pertanyaan dari saya di forum : “Seperti yang kita tahu, Bumi Silampari adalah salah satu pemersatu perbedaan antara Masyarakat Musirawas, Lubuk Linggau dan Muratara. Tapi setelah saya amati dari sekian banyak narasumber dimintai keterangan tentang Silampari tak satupun Tokoh Muratara yang muncul di dalamnya, mungkin Bang Ben (panggilan Benny Arnas) bisa menjelaskannya?”.
Jawaban yang di uraikan sang Produser film sedikit membuat saya legah dan memaklumi, sebab dari proses pembuatan film tersebut tim pembuat film memang sedikit dikejar deadline dan karena sesuai judul film tersebut, mereka hanya fokus pada Musirawas dan Lubuklinggau dan itu memang menjadi sub yang harus terkolerasi dengan judul film 'Silampari, setelah 2001' sedangkan, Kabupaten Muratara baru menjadi DOB (Daerah Otonomi Baru) pada 2013 lalu. Setelah tahun 2001 (Lubuk Linggau menjadi DOB), Silampari memang menjadi isu yang sangat sensitif untuk diperbincangkan dalam forum-forum resmi sebab, masing-masing pihak (Musirawas dan Lubuk Linggau) mengklaim memiliki hak atas Silampari dengan pendapat dan cerita yang berbeda entah itu tempat kejadian hingga situs sejarah. Lebih jauh lagi, sebenarnya Output dari film ini adalah sebagai ajang edukasi untuk semua masyarakat agar lebih mencintai sejarah budaya lokal dan diharapkan di masa mendatang setiap pegiat sosial atau konunitas terkait, lebih memperhatikan sisi lokalitas dalam berkarya. Setelah diskusi berakhir, sebagai apresiasi dari Bang Ben, kita yang hadir di berikan buku Silampari “hikayat putri yang hilang” yang di tulis oleh Suwandi Syam, dari buku Silampari inilah tulisan sederhana ini hadir.
Manusia tetaplah manusia, akan selalu ada hastrat yang membuat si empuhnya jiwa merasa tak terpuaskan dari pemberian ataupun hal yang dimiliki. Kisah dimulai saat raja Biku pergi Bertapa demi meminta pertolongan pada Dewa Mantra Guru Sakti Tujuh yang merupakan kakak ipar dari raja Biku sendiri, dalam pertemuan tersebut keinginan raja Biku memiliki anak di kabulkan oleh Dewa Mantra Guru Sakti Tujuh berupa kembang tanjung (Bunga Sakti dari Kayangan) berjumlah enam kelopak yang masing-masing kelopak memiliki cahaya, kembang tanjung dipetik langsung dari surga loka khusus diberikan pada raja Biku. Melalui perantara enam kelopak kembang tanjung itulah dikemudian hari lahir enam orang anak, seorang putra mahkota yang diharapkan menjadi penerus keberlangsungan kerajaan Ulak Lebar dan putra mahkota itu diberi nama Sebudur, diikuti oleh lima putri yang begitu cantik jelita yang diberi nama Dayang Torek, Dayang Jeruju, Dayang Teriji, Dayang Ayu dan terakhir Dayang Ireng Manis. Saking bahagia karena keinginannya dikabulkan, raja Biku samapi lupa dengan ucapan terakhir Dewa Mantra Guru Sakti Tujuh, dan itu merupakan pesan yang tersirat yang disampaikan setelah ia menerima kembang tanjung, “Dan ingatlah semua akan kembali kepada asalnya”.
Kata “kembali keasalnya” bermakna tak ada yang abadi dan setiap temu sejatinya adalah semu maka akan selalu ada sendu saat pisah menuntut hak untuk Silam (hilang). Takdir memang tak bisa diubah tapi hidup adalah sebuah pilihan. Jika takdir Mereka menghilang diujung cerita tapi, kehidupan bisa mereka tentukan hingga saat janji “kembali keasalnya” tiba maka, manusialah yang bisa mengukir cerita yang berujung indah atau nestapa pada akhirnya.
Sayang seribu sayang, Sebudur yang di harapkan menjadi putra mahkota dan memiliki kekuatan sakti mandra guna menjadi aktor dibalik semua cerita yang tertera. Ia dengan sikap dan sifatnya yang begitu keras kepala yang sering kali tak mau mempertimbangkan pendapat para menteri dan hulubalang sebagai penasehat kerajaan mengubah alur cerita yang awalnya bahagia hingga diakhir kisah berubah menjadi nestapa yang berkepanjangan dan siapapun yang mengenang dan mengenal peristiwa Silampari hanya akan mengetahui Silamnya para peri tanpa tahu penyebab dibalik menghilangnya para putri-putri itu.
Hari ini sejarah sangat mungkin berulang, tanpa disadari zaman selalu melahirkan Sebudur-Sebudur baru yang mungkin saja menjadi pengukir sejarah serupa. Sebudur masa kini adalah mereka yang memiliki skill dan sering mengaku sebagai millenial yang dengan jiwa mudanya selalu asyik dengan sifat dan sikap antipati terhadap permasalahan-permasalahan yang sangat jelas di depan mata. Tapi bagi Sebudur Millenial, ia tak menghiraukan dan masa bodoh pada sesuatu yang semestinya menjadi tugas merekalah membuat perubahan di era yang serba cepat ini bukan malah sebaliknya menjadi pengikut perubahan. Perkumpulan bukan lagi menjadi sesuatu yang di gandrungi sebagai wadah untuk diskusi tapi, perkumpulan sudah beralih fungsi sebagai trendi yang hanya sekedar meningkatkan status sosial kemudian hanya demi kepentingan update status di insta story.
Semakin banyak Sebudur millenial maka semakin Bumi Silampari bernasib suram di masa depan. Kalau bukan sejak sekarang kita sadar apakah harus menunggu semuanya benar-benar memudar? Kita adalah tonggak peradaban, masa depan adalah tanggung jawab kita bersama dan mari membuat perubahan jangan terus-terusan jadi pengikut perubahan.
Komentar
Posting Komentar