Kita yang tak sekufu, terlalu sulit untuk menyatu sebab kita begitu timpang dan agaknya banyak hal yang mesti kau timbang jika kau masih ingin cerita kita di lanjutkan. Aku adalah manusia paling malang yang sangat tertati meniti jalan, aku hanya tak ingin kau terluka dengan impianmu yang sangat kau harapkan di masa depan lalu berujung penyesalan.
Hilang tanpa bilang, persis seperti lagu, begitulah aku memutuskan bahwa kau dan aku harus dicukupkan sebelum kita terlalu jauh sebab sesadar itu aku pada kemampuanku untuk menelisik upaya maksimal demi membersamaimu. Puan, cukuplah kisah yang kita baca dalam balada menjadi pelajaran, kisah kita jangan. Rasanya, kita saling kenal saja sudah cukup dan bagiku itu sangatlah menyenangkan, mungkin menjadi teman akan terasa sangat memungkinkan daripada kita saling paksa untuk saling mengikat dalam suatu hubungan. Berat, Puan, aku dengan segala kekurangan sedang engkau dengan segenap kesempurnaan, kita tahu, untuk bahagia dalam kehidupan bukan melulu tentang cinta bukan?
Sedikit kuceritakan bagaimana aku yang masih berdarah berjuang menerima diriku seutuhnya, dengan luka aku merangkak menyembuhkan segala pilu di masa lalu, belum lagi bertahan hidup bersama harapan yang tak bisa ku pastikan dan aku dengan serendah-rendahnya mengakui bahwa aku tak layak untuk kau pantaskan sementara kau mungkin tak pernah sanggup untuk ku perjuangkan. Kita berbeda, Puan, benar-benar tak serupa. Kita persis seperti temu yang sangat kita rindukan, sebab kita akan menjadi yang tak pernah usai.
Aku sudah bangun, sebab kemarin aku sedang bermimpi untuk memilikimu, setiap kita adalah takdir yang telah tertakar dan tak mungkin pernah tertukar. Aku hanya akan menjadi pelajaran bagaimana perasaan memang tak perlu dipaksakan karena aku tahu hanya akan ada nyaman tapi tak pernah ada tenang jika rumah yang kau pilih adalah aku. Sebelum kau membenciku, aku terlebih dulu membenci diriku sendiri, Puan, dengan segala kekurangan dan keterbatasan. Kau berhak mendapatkan bahagiamu, Puan, kebahagiaan yang paling terhormat tapi sayang, itu bukan aku. Anggap saja aku si pecundang, yang hanya datang dan tak sanggup berjuang.
Terakhir, Puan, ada satu yang paling ingin kukatakan, kita memang tak pernah utuh pada kenyataan tapi menjadi sempurna dalam ungkapan, berawal dan berakhir dalam tulisan.
Komentar
Posting Komentar