Prolog
Boleh aku jatuh rasa pada obrolan pertama kita?!
Dasar pencuri!!! Di dekatmu aku kehilangan sikap kaku ku, denganmu aku yang pemalu menjadi manusia paling seru. Tahu, apa yang paling ku benci dari pertemuan sore itu? Senja si penipu, yang datang membawa rasa dan hilang menyisahkan resah. Aku ingin menjadi pelupa di sepanjang perjalanan, sayang, waktu menuntut kita untuk segera pulang!!
Lagu yang terlewatkan menjadi pembuka obrolan kita di tengah riuh sore itu, suasana yang sederhana dengan rasa yang penuh warna.
Kau adalah orang pertama yang mengusik hati setelah sekian lama mati suri karena perih. Kau manusia pertama yang membuatku yakin bahwa aku tak sia-sia mengikhlaskan kenangan yang paling sulit meski hanya untuk sekedar di simpan. Kau adalah temu yang selalu ku rindukan setelah lelah berkabung dengan luka dan lara, dan jujur sejak itu aku menaruh harapan pada pasrahnya keputus asaan.
Tolong, jangan cegah aku untuk tak mengagumi mu. Mohon, jangan larang aku membuat dongeng kebahagiaan. Jika esok aku kecewa, itu bukan karenamu dan aku takkan membencimu, sebab bagiku kau adalah makna senyum yang semesta hadiahkan untukku.
Jatuh Suka
Sebentar, ku hela nafas sejenak sebelum bait kata ini menjadi tulisan. Huuuuuft!!!!
Untuk SRW, terimakasih telah membersamai hari-hari penuh warnaku. Sejujurnya, kau yang paling sering ku sebut dalam tiap pintaku di ujung sujud saat ku menghamba pada Tuhan. Sejak pertemuan pertama itu, aku langsung menetapkan keinginan ku pada semesta dan mulai saat itu pula ku percayakan hatiku untuk memilih menetap pada hatimu. Singkat memang, tapi banyak hal yang membuatku belajar banyak hal.
Instagram media pertama kita saling tahu, Aku dan Dirimu adalah lagu pertama yang kita nyanyikan bersama, di meja nomor 16 ruang temu yang menjadikan kita semakin menyatu, dan kau ingat konser malam itu, itu adalah konser pertama yang ku saksikan langsung pun seru, tapi sayang, WhatsApp menjadi akhir dari kisah singkat penih makna itu.
Tak ada sesal, tak ada kesal, hanya saja kita terlalu mudah menyerah pada perbedaan. Aku yang selalu menggebu-gebu sedang engkau agaknya tak terlalu suka dengan caraku. Padahal kau tahu niatku, aku ingin kita berakhir di depan penghulu sedang engkau mungkin masih ingin melihat sejauh mana kesungguhanku. Aku paling egois jika rindu, sedang engkau paling bisa menahan keinginan untuk bertemu. Aku si paling suka menerka dan memilih romantis dengan kata-kata tapi kau masih berjuang melawan trauma dari kenangan yang sulit kau ikhlaskan.
Hari ini, aku tak ingin bersedih apalagi hanyut dalam perih. Aku hanya ingin merayakan duka, aku akan mensyukuri lara dan aku akan berterima kasih pada duka atas perpisahan yang telah kita sepakati. Sekali lagi, kita adalah orang yang sama dengan kisah yang berbeda mencoba saling menyembuhkan tapi pada akhirnya kita kembali pada persimpangan jalan, kau memilih usai akupun memilih tetap melanjutkan perjalanan lalu kita selesai tanpa meninggalkan goresan, Impas bukan!!!
Mari saling melepaskan, kau pergi dengan senyum dan aku berhenti tanpa penyesalan. Jika nanti di pertemukan, ku harap kita akan menertawakan pada setiap alur cerita yang kita buat. Amigos, salam sayang dan hati-hati di jalan.
Epilog
Mulai hari ini kabarmu akan jadi asing bagiku, tak ada lagi notif ucapan selamat pagi saat kau memulai aktifitas di setiap pagiku begitupun sapaan sore saat kau pulang kerumah dari letihnya menjalani kesaharianmu. Sebab hanya dengan itu, aku belajar tak mencaci kata menunggu. Kau tahu, darimu aku belajar bagaimana cara merelakan masa lalu, kembali berani membuka hati yang sudah berapa purnama mati suri. Sejak kau hadir, aku kembali mempercai takdir, sungguh, hanya denganmu aku merasa waktu tak terasa berlalu.
Aku lena dalam peluk asmara hingga lupa jika kasmaran tak pernah berlangsung lama, di waktu yang sama kaupun sudah mulai sadar bahwa bahagia yang kemarin hanya sementara. Kita sedang di uji, tapi kau memilih berhenti dan aku kau paksa pergi. Tak ada benci apalagi niat untuk menjauhimu, aku disini masih akan menunggu semoga keputusanmu hanya semata karena kau sedang tak bisa meredam emosimu dan semoga itu bukan dari hati. Lagi, aku masih ingin dan akan selalu menjadi orang pertama saat kau butuh bahu. Jika kau ingin sendiri dulu aku bisa memahami itu, memang butuh waktu untuk meyakinkan hati saat ragu datang mengganggu.
Untuk hati, tak usah terus membujukku untuk berseduh sedan, biarlah sendu terurai dengan sendirinya. Ingat, kita sudah lebih dulu terlatih perih oleh takdir, jika ini luka nikmatilah, lupa kita pernah karam pada lara paling dalam?! Sudahlah, biasa saja. Ini hanya bagian bab yang harus ada dalam buku yang akan kita baca saat nanti kita tua bukan?! Bersyukurlah, bahwa kita masih bisa merasakan duri di liku perjalanan yang semoga tak lagi teramat panjang. Kau harus sadar bahwa Temu adalah luka yang berwajah manis, pun dengan pisah ialah bahagia yang berwujud tangis. Nanti akan ada peluk paling hangat setelah pelik yang sangat.
Komentar
Posting Komentar