Kapal yang kau tumpangi hampir karam, Nona, sekarang kau bebas memilih, kembali kedaratan atau tetap membersamai nakhoda mengarungi lautan. Pilihanmu bijak nona, demi masa depan kau melanjutkan perjalanan menuju pulau bahagia tanpa menyertai kita. Selamat!!!
Kita pisah, kita telah benar-benar berpisah. Lagi, kau menjadi lebih baik setelah tanpa aku tapi aku, jauh lebih sulit menjalani hari-hari setelah tak lagi demganmu. Aku dan segala ekspektasiku hancur oleh keinginan, aku luka sebab ulahku dan kau adalah perantara kesakitan itu. Bukan, bukan kau yang memberi duka tapi aku yang selalu senang menduga dan merancang laraku sendiri. Aku tak sedang menyalahkanmu, tak juga sedang menyudutkanmu, hanya saja aku butuh waktu mengikhlaskan hadirmu yang kini sudah tak lagi menjadi takdirku.
Singkat memang, tapi seluruh hatiku kau ambil tanpa sisa padahal aku pernah mencintai lebih dalam dari ini, entah kata apalagi yang harus ku tulis untuk menggambarkan betapa aku masih tak bisa hilangkan namamu dalam kepalaku.
Raut wajahku tak lagi cerah, senyumku pun tak lagi sumringah sejak kau bilang "Pisah" dan menyerah kemudian mempertaruhkan kata "Kita" pada takdir.
Walau kini aku tertatih, berusaha keras untuk memaksa diri untuk tetap baik-baik saja, biarlah, akan ku nikmati semua luka yang kuciptakan sendiri akan ku peluk seluruh perih, hingga nanti aku sadar bahwa engkau adalah pembelajaran untuk diriku di masa depan.
Komentar
Posting Komentar