Masih di permulaan januari, tepat di tepi sungai yang mengaliri banyak cerita di arus tenangnya, aku dengan filter ber-nikotin yang begitu di puja para pecandu serta di kutuk oleh pembencinya mencoba melunakkan pikiran agar mampu mentransfer setiap isi kepala melalui kedua ibu jariku di layar smartphone dalam bentuk narasi sederhana. Malam ini tepatnya, aku akan menunaikan janjiku menulis kesan tentang kegiatan "Kemah Literasi" yang dilaksanakan pada tanggal 14 sampai15 Desember 2019 tahun lalu. Aku benar-benar lalai, sebenarnya tulisan ini seharusnya sudah tiba di lini masa seminggu setelah usai kegiatan (Maafkan aku kawan) dan itu jelas suatu keteledoran tapi, setidaknya dengan adanya tulisan ini aku telah menunaikan kewajiban.
Dan bermula dari situlah gagasan kegiatan Kemah Literasi dapat terwujud dan berjalan dengan baik (meski tak semulus yang kita inginkan dan teman-teman memaklumi hal tersebut, wkwk) yang di inisiasi oleh pemuda Maur dan Beberapa komunitas seperti Ceria Semesta, Merdesa, Majelis Lingkaran, BennyInstitute, Sang Kopi serta organisasi kepemudaan yang ada di Desa Maur, Karang Taruna dan Ikatan Muda Mudi Maur (Ik3m). Suatu kehormatan dan kebanggaan tersendiri bisa menjadi bagian dari terselenggaranya kegiatan Kemah Literasi dan desaku sebagai tuan rumah Kemah Literasi yang diadakan pertama kali di lingkup daerah Silampari (Musirawas, Lubuklinggau, Muratara). Kegiatan yang menjadi ajang silaturahmi lintas komunitas dan sharing berbagai hal, terutama tentang literasi, dalam rundown kegiatan Kemah Literasi selama dua hari itu pada hari pertama; Kunjungan ke kediaman Kepala Desa dan kemudian dilanjutkan dengan eksplorasi Desa Maur serta, di hari kedua; belajar sambil bermain bersama anak-anak yang ada di desa Maur yang telah di jadwalkan pada rundown kegiatan di minggu pagi hari terakhir.
Sebagai tuan rumah, sudah menjadi kewajiban mengajak teman-teman dari lintas komunitas mengitari setiap sudut desa hingga menjelajahi hutan dan situs budaya yang ada sembari menjawab pertanyaan ala-ala pelancong yang lumrah terjadi. Aku bersemangat menjawab serta menjelaskan apapun seiring dengan antusiasme pertanyaan-pertanyaan yang mengalir disela bincang dalam perjalanan tiga jam mengeksplorasi desaku. Diantara banyaknya pertanyaan akan ku rangkum menjadi sebuah narasi yang saling terhubung antara satu sama lain.
"Tentang nama desa Maur, memiliki dua versi pertama; Maur di ambil dari kata Mawar yang konon katanya, di hulu sungai Maur pada mulanya terdapat kebun bunga mawar yang begitu luas sehingga semerbak harumnya sampai ke seantero kampung sehingga siapapun yang datang menyebut kampung itu sebagai kampung mawar. Seiring perkembangan zaman dan masuknya para penjajah (Belanda) menjadi cikal bakal nama Mawar berubah menjadi Maur, sebab bahasa Balanda dan pelafalan khas / aksen dalam menyebut huruf R menjadi KH (seperti abjad ke-tujuh dalam bahasa Arab) sehingga, kata Mawar menjadi Mawakh dan masyarakat sekitar melafalkannya menjadi Maukh dan akhirnya menjadi kata Maur".
Versi kedua, "Maur berasal dari kalimat dalam Al Quran Mauroo (مَوْرًا) yang berarti sungguh-sungguh berguncang (tidak tetap, goyah atau berubah dengan cepat dan menjadi tidak teratur). Definisi tersebut persis dengan kejadian-kejadian yang pernah menggemparkan di desa Maur dalam beberapa masa, yang masih jelas dalam ingatan adalah di awal tahun 80an desa Maur dikenal dengan Mekkah Kecil (Serambi Mekkah) lengkap dengan air pancuran yang berada tepatdi sebelah masjid An-Nur menjadi penawar berbagai penyakit. Desa Maur semula dikenal tempatnya para Alim Ulama, menjadi pusat bagi para penuntut ilmu agama yang para pelajarnya bukan hanya dari masyarakat setempat melainkan dari desa-desa tetangga. Suasana desa santri begitu kentara yang ditandai saat waktu sholat tiba setiap masyarakat berbondong-bondong ke masjid demi menunaikan sholat berjamaah pun saat Maghrib tiba, suasana di jalanan begitu senyap namun, hampir di setiap rumah riuh dengan suara anak-anak mengaji hingga adzan Isya' berkumandang dan itu bertahan hingga akhir tahun 90an. Aku termasuk generasi terakhir yang merasakan kearifan suasana tersebut sebab, di awal abad milenial semuanya perlahan menghilang dan keadaan seakan berbalik 180 derajat.
Tahun 2000an hingga 2010 awal Maur berubah menjadi nama yang menakutkan dan selalu di perbincangkan karena ulah sebagian remaja yang hilang kendali terhadap arus globalisasi yang tak di imbangi dengan bekal literasi (pengetahuan agama maupun pengetahuan umum) dan bersamaan ditutupnya air pancuran yang telah lama menjadi sumber serta obat mujarab (yang tentunya berkat curahan rahmat dari Sang Pencipta) entah atas dasar dan alasan apa hingga, berdampak negatif pada masyarakat yang kemudian berimbas pada merosotnya moral, budaya dan sosial yang kemudian harumnya nama Maur jelmaan bunga mawar kemudian layu diterjang banjir bandang.
Hal wajar bila yang menjadi pertanyaan sakral teman-teman adalah tentang keamanan baik dalam perjalanan maupun keadaan saat berada selama dua hari di desa Maur sebab, fenomena terakhir pada pernyataanku diatas dan pada akhirnya mereka jualah yang berhak menilai dan merasakan sensasi selama berkegiatan.
Ketika di salah satu Makam tertua di desa Maur, Makam Bunayu dan Putri Darah Putih (yang biasa kami sebut dengan makam Keramat) namanya dan sebagian besar masyarakat meyakini bahwa dari sinilah asal muasal keturunan desa Maur yang mula-mula membangun peradaban di desa maur disekitaran bantaran Sungai Sekayun yang berada sekitar 3 kilometer dari pemukiman masyarakat Maur saat ini. kembali aku menjelma sebagai budayawan saat diminta oleh teman-teman untuk menceritakan kisah Bunayu dan keluarganya. Setelah Bunayu dan Darah Putih menetap dan beranak-pinak kisah dimulai dari sang anak pertama dan anak kedua, diceritakan bahwa Anak pertama mendapatkan gelar Patih dari sang Ayah sedang sebagai anak kedua ia hanya diberi beberapa warisan berupa keris dan sebagian harta yang telah dibagi secara adil. Sang adik memutuskan untuk merantau demi belajar mandiri dan menimbah ilmu agar menjadi kstaria. Singkat cerita sekembali dari perantauan sang adik kecewa pada sang kakak sebab tak memberi kabar berita tentang kematian sang Ayah, dari situlah sang adik merajuk dan bersumpah tidak akan kembali dan memutuskan pergi bahkan saking kecewanya sealiran sungai saja ia tak mau lagi. Setelah berjalan berbulan-bulan menelusuri anak sungai dan bertemu anak sungai yang baru berulang kali pula ia kembali pada muara yang sama yaitu sungai Sekayun kemudian setelah puluhan anak sungai ia telusuri berhentilah ia pada muara Sungai Limau yang ujung muara adalah ke laut lepas Bengkulu dan di tepi sungai itu pula ia memutuslan untuk menjalani sisa kehidupannya yang di kemudian hari di kenal dengan desa Sekayun tempat desa tersebut tidak jauh dari kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu. Ada satu hal yang menarik, saudara sedarah tetaplah saudara yang tak mungkin takenyisakan penyesalan dan keinginan bertemu sebab rindu, tapi ego begitu sulit ditaklukkan hingga kedua Kakak beradik tersebut hanya berpesan pada anak keturunannya "Jika kau ingin mengetahui ia adalah saudaramu yang merajuk tanpa mampu dibujuk, lihatlah jari telunjuknya sebab, keturunan kita memiliki jari telunjuk yang tidak lurus. Jika bertemu sampaikan pada mereka merajuk berkepanjangan tak usah dijadikan tabiat sebelum kecewa cobalah berkaca mungkin kita yang bersalah tak pernah memberi kabar berita saat jauh dari rumah". Kebetulan atau tidak, semua keturunan Maur dan Sekayun memiliki jari telunjuk yang sama, sama-sama bengkok.
Waktu dua hari teramat singkat untuk kegiatan seperti ini meski begitu, tulisan ini sebenarnya masih belum cukup untuk menguraikan semua kejadian yang menyenangkan selama kegiatan. Untuk Pak Kades, Tengkiu telapau. Semakin banyak pemimpin Muda seperti beliau, semakin cepat berkembang peradaban sebab peradaban berawal dari desa mengutip slogan MERDESA, Tengkiu teman-teman lintas komunitas, sekali lagi saya bangga bisa menjadi bagian terwujudnya kegiatan sederhana penuh makna ini. Jika berkenan atas sebuah kesan boleh kiranya suatu kala datang dan kita kembali berkegiatan. terimakasih atas semua pembelajaran, Belajar saling memahami, belajar saling menerima dan pada akhirnya pelajaran yang paling berharga adalah Bersyukur dengan segala keadaan dan terus bergerak demi kesadaran sampai pada akhirnya terciptalah peradaban-peradaban yang cemerlang di masa depan.
Kemah Literasi . . .
Kuy Meco, Meco, Meco !!!
Komentar
Posting Komentar